Beternak
puyuh merupakan sesuatu yang asing bagi warga Kabupaten Lampung Timur.
Kondisi tiada pesaing itu mendorong Sucipto mengawali usaha yang baginya
sesuatu yang jauh berbeda dengan profesi sebelumnya.
Setamat dari SMA pada 1991, ia sudah malang-melintang menjalani berbagai profesi, seperti canvaser
barang-barang kelontong hingga sopir truk di berbagai kota. Saat ia
bekerja sebagai sopir truk di Kediri, Jawa Timur, ia tinggal di rumah
kontrakan. Anak si empunya rumah itu beternak puyuh.
Awalnya
Cipto, tidak peduli dengan usaha tersebut. Namun setelah beberapa
waktu, ia mulai tertarik untuk mencobanya. Lagi pula sang istri, Anik
Masrida, yang baru dinikahinya enggan diajak merantau ke Kediri dan
menginginkan suaminya berusaha di Lampung Timur.
“Selain
itu kelihatannya beternak puyuh ini risikonya lebih rendah dibandingkan
nyopir. Lagi pula jika dikembangkan di desa saya yang saat itu masih
rawan kejahatan tentu usaha lebih aman,” kenang Cipto tentang latar
belakangnya beralih profesi.
Mulai dari 400 Ekor
Cipto
memulai usaha beternak puyuh pada 2006 dengan modal awal Rp3 juta. Ia
membuat kandang puyuh di samping rumahnya di Desa Negeri Agung,
Kecamatan Margatiga, Lampung Timur yang sebelumnya digunakan untuk
garasi truk. Sebanyak 400 ekor bibit puyuh ditempatkan di kandang itu.
Kandang
dibuat dari bambu dan kawat yang dibentuk seperti kotak bertingkat
empat. Satu kotak berukuran 1,5 m x 1 m diisi 25 ekor. Di antara tingkat
ditaruh papan tripleks untuk menampung kotoran puyuh. Lalu kandang
diberi lampu penerangan. Dalam jangka waktu 40 hari puyuhnya mulai
bertelur. “Dua bulan kemudian modal sudah kembali,” ungkap Cipto saat
berbincang dengan AGRINA di rumahnya.
Berbicara
tentang pemeliharaan puyuh, ia memulai dari pakan. Untuk anak puyuh, ia
memberikan konsentrat 611. Setelah besar, pakannya berupa campuran
konsentrat, jagung halus, dan dedak halus dengan perbandingan 1:1:1.
Saat itu, jagung dibelinya seharga Rp2.000/kg, bekatul Rp2.400/kg, dan
konsentrat Rp280 ribu/karung isi 50 kg. Menurut perhitungannya, harga
pakan campuran tersebut sekitar Rp3.400/kg.
Guna
mengetahui lebih detail soal seluk-beluk budidaya puyuh, ia banyak
membaca buku. Dari situ ia mulai mencoba menetaskan telur puyuh
menggunakan lampu listrik dengan suhu rata-rata 40oC. Telur
akan menetas setelah 17- 18 hari. Cipto pun makin bersemangat
mengembangkan usahanya karena saat itu ia masih satu-satunya peternak
puyuh di Lampung Timur. Penjualan telur produksinya mudah lantaran
banyak pedagang datang ke rumahnya. Pun permintaan puyuh pedaging mulai
banyak dari rumah makan di jalur lintas Kota Metro-Sukadana dan jalan
lintas pantai timur Sumatera.
Telur dijualnya senilai Rp19 ribu/kg (isi 95-100 butir). Sementara bibit umur sehari (day-old quail/DOQ)
dijual Rp3.000/ekor, umur 10 hari Rp4.500/ekor, dan umur 40 hari yang
sudah siap telur seharga Rp9.000/ekor. Sementara puyuh pedaging dipatok
Rp3.500/ekor. Puyuh pedaging berasal dari puyuh jantan dan puyuh betina
yang produksi telurnya sudah turun hingga 50%. Saat ini Cipto
menghasilkan 5 kg telur/hari, puyuh pedaging 200 ekor/hari, dan bibit
puyuh tergantung permintaan.
Siklus Cepat
Melihat
usaha Cipto berkembang, sejumlah warga yang sebelumnya beternak ayam,
kambing, dan sapi, membeli bibit darinya. Tidak menganggap mereka
pesaing, peternak baru ini malah dibinanya dalam hal pemeliharaan maupun
pemasaran. Ia juga menampung telur produksi peternak lain di rumahnya
tanpa mengambil untung sama sekali. Kini telur puyuh Cipto dan peternak
lainnya dibawa pedagang ke Natar (Kab. Lampung Selatan), Menggala
(Tulangbawang), dan Baturaja, Palembang (Provinsi Sumsel).
Pria
kelahiran 1972 ini ingin Lampung Timur (Lamtim) menjadi sentra puyuh di
Lampung. Potensi ke arah itu terbuka lebar. Bahan pakan dari jagung dan
bekatul berlimpah. Lamtim sentra jagung dan padi sehingga tidak bakal
kekurangan pakan, termasuk konsentrat 611, karena sejumlah pabrik pakan
ada di daerah ini. Lalu kandang, tidak perlu lahan luas dan mahal
seperti ayam. Apalagi, “Beternak puyuh lebih rileks dan telurnya bisa
dijual tiap hari,” jelas ayah satu putri ini.
Siklus
budidaya puyuh terbilang cepat. Puyuh mulai bertelur pada umur 40–42
hari. Masa produksi rata-rata selama setahun. Setelah itu produksi turun
hingga 50%. Puyuh ini dijual sebagai pedaging dan diganti dengan anak
puyuh baru.
Kendala
usaha ini adalah fluktuasi harga. Biasanya sehabis Lebaran sampai
Maret, permintaan telur puyuh agak seret sehingga harga turun. Namun
menjelang libur dan bulan puasa hingga lebaran berikutnya permintaan
naik kembali. Harga pun melonjak sampai Rp22 ribu/kg.
Ancaman penyakit lebih sering datang saat musim hujan, mulai akhir tahun sampai April. Flu burung (avian influenza)
dan tetelo (Newcastle Disease-ND) termasuk penyakit utama. Namun kedua
penyakit tersebut jarang ditemui di sana. Yang sering adalah kotoran
berwarna putih kehijauan. Tanda-tandanya, nafsu makan menurun, lesu, dan
keluar lendir dari paruh. Untuk mengatasinya, Cipto mempercayakan pada
Trimezyn, produksi Medion.
Mengenai
skala ekonomis, menurut hitungan Cipto, adalah 500 ekor ke atas dengan
keuntungan yang diperoleh kurang lebih Rp1,2 juta/bulan. Produksi telur
sudah mencapai 90% memasuki bulan ketiga. Setelah setahun produksi telur
turun hingga 50%.
Memang
Cipto tidak mengungkap omzetnya sebulan. Namun sebagai gambaran, dari
penjualan telur, bibit, dan puyuh pedaging ia mampu membiayai istrinya
kuliah di IAIN Raden Intan Bandarlampung. Selain itu ia juga sudah
memperbaiki rumah, membeli dua sepeda motor, dan membangun kandang baru
untuk menampung sekitar 4.000 ekor puyuh lengkap dengan gudang
penyimpanan pakan dan obat-obatan serta telur/puyuh pedaging/bibit siap
dijual.
Sumber : agrina online
=================================================================================
Kami menyediakan puyuh siap telor
Lokasi kandang di Blitar
Harga Rp 6.000 (belum termasuk ongkos kirim)
Bibit berkualitas
Hanya melayani pengiriman area jawa timur
Berminat, hubungi :
Budi
HP/WA : 081 328 491 949
pin BB : 7CFFE399