Rabu, 04 Juni 2014

Kisah Sukses Mantan Sopir Truk

Beternak puyuh merupakan sesuatu yang asing bagi warga Kabupaten Lampung Timur. Kondisi tiada pesaing itu mendorong Sucipto mengawali usaha yang baginya sesuatu yang jauh berbeda dengan profesi sebelumnya.

Setamat dari SMA pada 1991, ia sudah malang-melintang menjalani berbagai profesi, seperti canvaser barang-barang kelontong hingga sopir truk di berbagai kota. Saat ia bekerja sebagai sopir truk di Kediri, Jawa Timur, ia tinggal di rumah kontrakan. Anak si empunya rumah itu beternak puyuh.

Awalnya Cipto, tidak peduli dengan usaha tersebut. Namun setelah beberapa waktu, ia mulai tertarik untuk mencobanya. Lagi pula sang istri, Anik Masrida, yang baru dinikahinya enggan diajak merantau ke Kediri dan menginginkan suaminya berusaha di  Lampung Timur.

“Selain itu kelihatannya beternak puyuh ini risikonya lebih rendah dibandingkan nyopir. Lagi pula jika dikembangkan di desa saya yang saat itu masih rawan kejahatan tentu usaha lebih aman,” kenang Cipto tentang latar belakangnya beralih profesi.

Mulai dari 400 Ekor

Cipto memulai usaha beternak puyuh pada 2006 dengan modal awal Rp3 juta. Ia membuat kandang puyuh di samping rumahnya di Desa Negeri Agung, Kecamatan Margatiga, Lampung Timur yang sebelumnya digunakan untuk garasi truk. Sebanyak 400 ekor bibit puyuh ditempatkan di kandang itu.

Kandang dibuat dari bambu dan kawat yang dibentuk seperti kotak bertingkat empat. Satu kotak berukuran 1,5 m x 1 m diisi 25 ekor. Di antara tingkat ditaruh papan tripleks untuk menampung kotoran puyuh. Lalu kandang diberi lampu penerangan. Dalam jangka waktu 40 hari puyuhnya mulai bertelur. “Dua bulan kemudian modal sudah kembali,” ungkap Cipto saat berbincang dengan AGRINA di rumahnya.

Berbicara tentang pemeliharaan puyuh, ia memulai dari pakan. Untuk anak puyuh, ia memberikan konsentrat 611. Setelah besar, pakannya berupa campuran konsentrat, jagung halus, dan dedak halus dengan perbandingan 1:1:1. Saat itu, jagung dibelinya seharga Rp2.000/kg, bekatul Rp2.400/kg, dan konsentrat Rp280 ribu/karung isi 50 kg. Menurut perhitungannya, harga pakan campuran tersebut sekitar Rp3.400/kg.

Guna mengetahui lebih detail soal seluk-beluk budidaya puyuh, ia banyak membaca buku. Dari situ ia mulai mencoba menetaskan telur puyuh menggunakan lampu listrik dengan suhu rata-rata 40oC. Telur akan menetas setelah 17- 18 hari. Cipto pun makin bersemangat mengembangkan usahanya karena saat itu ia masih satu-satunya peternak puyuh di Lampung Timur. Penjualan telur produksinya mudah lantaran banyak pedagang datang ke rumahnya. Pun permintaan puyuh pedaging mulai banyak dari rumah makan di jalur lintas Kota Metro-Sukadana dan jalan lintas pantai timur Sumatera.
Telur dijualnya senilai Rp19 ribu/kg (isi 95-100 butir). Sementara bibit umur sehari (day-old quail/DOQ) dijual Rp3.000/ekor, umur 10 hari Rp4.500/ekor, dan umur 40 hari yang sudah siap telur seharga Rp9.000/ekor. Sementara puyuh pedaging dipatok Rp3.500/ekor. Puyuh pedaging berasal dari puyuh jantan dan puyuh betina yang produksi telurnya sudah turun hingga 50%. Saat ini Cipto menghasilkan 5 kg telur/hari, puyuh pedaging 200 ekor/hari, dan bibit puyuh tergantung permintaan. 
Siklus Cepat
Melihat usaha Cipto berkembang, sejumlah warga yang sebelumnya beternak ayam, kambing, dan sapi, membeli bibit darinya. Tidak menganggap mereka pesaing, peternak baru ini malah dibinanya dalam hal pemeliharaan maupun pemasaran. Ia juga menampung telur produksi peternak lain di rumahnya tanpa mengambil untung sama sekali. Kini telur puyuh Cipto dan peternak lainnya dibawa pedagang ke Natar (Kab. Lampung Selatan), Menggala (Tulangbawang), dan Baturaja, Palembang (Provinsi Sumsel).
Pria kelahiran 1972 ini ingin Lampung Timur (Lamtim) menjadi sentra puyuh di Lampung. Potensi ke arah itu terbuka lebar. Bahan pakan dari jagung dan bekatul berlimpah. Lamtim sentra jagung dan padi sehingga tidak bakal kekurangan pakan, termasuk konsentrat 611, karena sejumlah pabrik pakan ada di daerah ini. Lalu kandang, tidak perlu lahan luas dan mahal seperti ayam. Apalagi, “Beternak puyuh lebih rileks dan telurnya bisa dijual tiap hari,” jelas ayah satu putri ini.
Siklus budidaya puyuh terbilang cepat. Puyuh mulai bertelur pada umur 40–42 hari. Masa produksi rata-rata selama setahun. Setelah itu produksi turun hingga 50%. Puyuh ini dijual sebagai pedaging dan diganti dengan anak puyuh baru.
Kendala usaha ini adalah fluktuasi harga. Biasanya sehabis Lebaran sampai Maret, permintaan telur puyuh agak seret sehingga harga turun. Namun menjelang libur dan bulan puasa hingga lebaran berikutnya permintaan naik kembali. Harga pun melonjak sampai Rp22 ribu/kg.
Ancaman penyakit lebih sering datang saat musim hujan, mulai akhir tahun sampai April. Flu burung (avian influenza) dan tetelo (Newcastle Disease-ND) termasuk penyakit utama. Namun kedua penyakit tersebut jarang ditemui di sana. Yang sering adalah kotoran berwarna putih kehijauan. Tanda-tandanya, nafsu makan menurun, lesu, dan keluar lendir dari paruh. Untuk mengatasinya, Cipto mempercayakan pada Trimezyn, produksi Medion.
Mengenai skala ekonomis, menurut hitungan Cipto, adalah 500 ekor ke atas dengan keuntungan yang diperoleh kurang lebih Rp1,2 juta/bulan. Produksi telur sudah mencapai 90% memasuki bulan ketiga. Setelah setahun produksi telur turun hingga 50%.
Memang Cipto tidak mengungkap omzetnya sebulan. Namun sebagai gambaran, dari penjualan telur, bibit, dan puyuh pedaging ia mampu membiayai istrinya kuliah di IAIN Raden Intan Bandarlampung. Selain itu ia juga sudah memperbaiki rumah, membeli dua sepeda motor, dan membangun kandang baru untuk menampung sekitar 4.000 ekor puyuh lengkap dengan gudang penyimpanan pakan dan obat-obatan serta telur/puyuh pedaging/bibit siap dijual.  
Sumber : agrina online
=================================================================================
Kami menyediakan puyuh siap telor
Lokasi kandang di Blitar
Harga Rp 6.000 (belum termasuk ongkos kirim)
Bibit berkualitas

Hanya melayani pengiriman area jawa timur

Berminat, hubungi :
Budi
HP/WA : 081 328 491 949
pin BB : 7CFFE399

Tidak ada komentar:

Posting Komentar